HUKUM PERWAKAFAN DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas
Mata kuliah Hukum Perkawinan
Indonesia
OLEH KELOMPOK 1:
Mohammad Sopian
1474201004
Rizke Diana 1474201094
Ayunda M.J. 1474201036
Chairunisa 1474201086
Betap Rachman 1474201076
Chairunisa 1474201086
Betap Rachman 1474201076
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
TANGERANG
TANGERANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum Islam merupakan perpaduan
antara wahyu Allah SWT dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu
diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk menerapkan nilai-nilai
keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi
seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun
keadilan ekonomi.
Salah satu institusi sosial Islam
yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai
kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada
kesadaran akan adanya Allah SWT, lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk
perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran
Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok
orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap
kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan
akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang
beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah
dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Pada tulisan yang
sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga yang
diatur oleh negara, yang merujuk pada Kompilasi Hukum Islam.
Di Indonesia wakaf dikenal dan
dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia yang juga
menjadi salah satu penunjang pengembangan agama dan masyarakat Islam. Tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah
memajukan kesejahteraan umum.
Salah satu langkah strategis untuk
meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf. Praktik wakaf
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan
efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara
sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara
melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau
ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami
status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Dalam makalah ini akan di bahas beberap
hala mengenai wakaf, rukun dan syarat wakaf serta tata cara ikrar wakaf.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka dapat
diidentifikasi beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan makalah
ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan wakaf?
2. Bagaimana
sejarah wakaf di indonesia?
3. Syarat dan unsur wakaf?
4. Bagaimana
tata cara perwakafan di indonesia?
C.
Tujuan
Makalah ini dibuat sebagai syarat tugas
Hukum Telematika, sesuai permasalahan diatas adapun tujuan penelitian ini
adalah :
1.
Untuk mengetahui pengertian dari wakaf dan mengetahui
bentuk bagaimana sejarah terjadinya wakaf di indonesia.
2.
Untuk mengetahui tata cara pewakafan dan syarat serta
unsur wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
WAKAF
Secara etimologi, kata wakaf (وقف) berarti al-habs
(menahan), radiah (tekembalikan), al-tahbis (tertahan) dan al-man’u (mencegah).[1]
Menurut istilah syara’, wakaf berarti menyerahkan suatu
hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau
kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya
digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Dalam hal
tersebut, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan
pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak
umum).
Wakaf menurut jumhur ulama’ ialah suatu harta yang
mungkin dimanfaatkan selagi barangnya utuh. Dengan putusnya hak penggunaan dari
wakif, untuk kebajikan yang semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Harta wakaf atau hasilnya, dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Dengan diwakafkannya harta itu, maka harta keluar dari pemilikan wakif,
dan jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah SWT. Bagi wakif,
terhalang untuk memanfaatkan dan wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan.
Dari ulama’ Hanafiyyah, Imam Sarkhosi mendefinisikan
wakaf yang bersumber dari Abu Hanifah : Menahan harta dari jangkauan
(kepemilikan) orang lain. Menurut Ulama Malikiyyah, Ibnu Arafah, bahwa wakaf
adalah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan
tetapnya wakaf dalam kepemilikan pemberinya meski hanya perkiraan. Sedangkan
menurut Ulama Hanabilah, Ibnu qudamah mendefinisikan, bahwa wakaf adalah:
menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.
Ulama Syafi’iyah menerangkan bahwa wakaf adalah penahanan
dari bertasarruf dan mensedakahkan hasilnya serta berpindahnya pemilikan dari
orang yang berwakaf kepada orang yang
menerima wakaf dan
tidak boleh bertindak sekehendak
hati mauquf alaih.
Rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana
disebutkan dalam pasal 215 ayat (1) bahwa wakaf adalah, perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya, guna kepentingan
ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.[2]
Dalam pengertian
lain, sebagaimana disebutkan dalam UU RI No 41 tahun 2004 tentang wakaf,
mendefinisikan wakaf sebagai berikut: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.[3]
Walau definisi wakaf berbeda antara satu dengan yang
lain, akan tetapi definisi tersebut nampaknya berpegang pada prinsip bahwa
benda wakaf, pada hakikatnya adalah pengekalan dari manfaat benda wakaf itu.
Namun demikian, dari beberapa definisi dan keterangan di atas, dapatlah ditarik
suatu kesimpulan bahwa wakaf itu meliputi beberapa aspek sebagai berikut: Harta
benda itu milik yang sempurna; Harta benda itu zatnya bersifat kekal dan tidak
habis dalam sekali atau dua kali pakai; Harta benda tersebut dilepaskan
kepemilikannya oleh pemiliknya; Harta benda yang dilepaskan kepemilikannya
tersebut, adalah milik Allah dalam arti tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau
diperjualbelikan; dan Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum
yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf
bersumber dari pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan As-sunah. Dalam Al-Qur'an
tidak secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf, bahkan tidak satu pun ayat
Al-Qur'an yang menyinggung kata "waqf". Kendatipun demikian, karena
wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta benda, jadi ada
beberapa ayat yang memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan masyarakat, yang disandarkan sebagai landasan
atau dasar wakaf, antara lain :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ
وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ
تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (QS. Al-Baqarah: 267).
Ayat ini menjelaskan bahwa pilihlah yang baik-baik dari
apa yang kamunafkahkan itu, walaupun tidak harus semuanya baik, tetapi jangan
sampai kamu sengaja memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya. Selanjutnya, ayat ini mengingatkan
para pemberi nafkah agar menempatkan diri pada tempat orang yang menerimanya.
Allah memerintahkan pada manusia, agar memberi nafkah
kepada yang butuh, bukan karena Allah tidak mampu memberi secara langsung, tetapi perintah ini
adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan si pemberi. Jadi, kata anfiquu
mempunyai arti menafkahkan atau menyedekahkan (wakaf) yang baik-baik untuk
diberikan kepada orang yang membutuhkan guna dipergunakan untuk kepentingan umum.
Kemudian ayat yang lain yaitu:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92).
Penjelasan ayat ini ialah banyak orang yang menafkahkan
apa yang ia cintai, tetapi beserta riya. Dan banyak orang yang jiwanya penuh
dengan keinginan berbakti, tidak mempunyai harta untuk disedekahkan. Serta kita
diperintahkan untuk menyembunyikan sedekah agar tidak menimbulkan riya dalam
dada orang yang bersedekah.
Dalam ayat ini Allah menegaskan kepada kita bahwa tanda
iman dan neracanya yang benar ialah mengeluarkan harta yang dicintai dijalan
Allah SWT. dengan ikhlas serta niat yang baik. Tidak dapat seseorang menjadi
mukmin yang sempurna kalau tidak mau menyedekahkan harta yang dicintai. Ayat di
atas sering digunakan fuqaha’ untuk rujukan wakaf.
Adapun dasar dari Sunnah Nabi yang lebih tegas
menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar bin
Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar, kisah tersebut yaitu :
“Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Umar telah menguasai tanah di Khaibar, kemudian
ia datang kepada Nabi SAW. Guna meminta intruksi sehubungan dengan tanah
tersebut”. Ia berkata: "Ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah
di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau
perintahkan kepada-ku dengannya?” Beliau
bersabda: " Jika kamu menginginkannya, tahanlah asalnya, dan shadaqahkan
hasilnya”. Maka bershaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan
dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir, budak-budak,
pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan
tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan dari hasil tanah
tersebut dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”.
Jelas, maksud dari shadaqah jariyah adalah wakaf. Karena pahala wakaf akan terus menerus
mengalir selama barang wakaf itu masih dimanfaatkan. Sebagaimana keutamaan
shadaqah jariyah yang manfaat dan pengaruhnya langgeng setelah pemberi sedekah
meninggal dunia.
Kisah dalam Hadits di atas adalah yang mendasari
disyari’atkanya wakaf sebagai tindakan hukum, dengan mendermakan sebagian harta
kekayaan untuk kepentingan umum, baik kepentingan sosial maupun kepentingan keagamaan dengan
maksud memperoleh pahala dari Allah SWT. Sedikit sekali memang, ayat-ayat
al-Qur’an dan Hadits, yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu, sedikit
sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut.
Meskipun demikian, ayat Al-Qur’an dan Hadits yang sedikit itu mampu menjadi
pedoman para ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang,
dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui ijtihad
mereka. Sebab itu, sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam
ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad yang
bermacam-macam seperti, qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang
masuk dalam masalah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel,
terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis dan futuristik
(berorientasi pada masa depan). Dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran
saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk dari bagian
muammalah yang memiliki jangkauan yang lebih luas.
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang
Pelaksanaanya di Indonesia mengalami perkembangan. Dalam KHI wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Ada beberapa pengertian dasar lain yang berkaitan dengan
wakaf, yaitu:
1. Wakif, yaitu orang atau kelompok orang maupun badan hukum
yang mewakafkan benda miliknya.
2. Ikrar, adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan benda miliknya.
3. Benda wakaf, yaitu
segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan
yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
4. Nazhir, yaitu kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
5. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), yaitu petugas
pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan yang berlaku, berkewajiban
menerima ikrar dari wakif dan menyerahkannya kepada nazhir saat melakukan
pengawasan untuk kelestarian perwakafan. PPAIW diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.
B.
SEJARAH
PERWAKAFAN DI INDONESIA
Wakaf di
Indonesia sebagai lembaga Islam yang erat kaitannya dengan masalah sosial dan
adat Indonesia, telah dikenal sejak sebelum kemerdekaan yaitu sejak Islam masuk
Indonesia. Adapun sejarah perkembangan perwakafan di Indonesia sebagai berikut
:
1.
Wakaf di jaman
Kesultanan
Banyak bukti-bukti ditemukan bahwa pada
masa kesultanan telah dilakukan ibadah wakaf, hal ini dapat dilihat pada
peninggalan sejarah, baik berupa tanah dan bangunan masjid, bangunan madrasah,
komplek makam, tanah lahan baik basah maupun kering yang ditemukan hampir di seluruh
Indonesia terutama yang di zaman dulu
Kesultanan / Susuhan atau pernah diperintah oleh Bupati yang beragama Islam.
Bukti itu antara lain tanah-tanah yang diantaranya berdiri masjid seperti:
1.
Masjid Al Falah di Jambi berasal dari tanah Sultan Thah
Saifudin;
2.
Masjid Kauman di Cirebon wakaf dari Sunan Gunung Jati;
3.
Masjid di Demak wakaf dari Raden Patah;
4.
Masjid Menara si Kudus wakaf dari Sunan Muria;
5.
Masjid Jamik Pangkalan wakaf dari Sultan Abdul Qodirun;
6.
Masjid Agung Semarang wakaf dari Pangeran Pandanaran;
7.
Masjid Ampel di Surabaya wakaf dari R. Rochmat Sunan
Ampel;
8.
Masjid Agung Kauman di Yogya wakaf dari Sultan Agung;
9.
Masjid Agung Kauman di Solo wakaf dari Susuhunan Paku Buwono X.
10. Untuk Masjid
Agung Banten dan madrasah-madrasahnya mendapat tanah wakaf dari Maulana
Hasanudin, Maulana Yusuf, Maulana Pangeran Mas dan Hartawan Muslim yang luasnya
ratusan hektar;
11. Masjid Agung
Demak dan pesantrennya dibiayai dari hasil tanah wakaf sawah seluas kurang lebih 350 hektar wakaf
dari Raden Patah;
12. Masjid Agung
Semarang dibiayai dengan tanah wakaf Bupati Semarang pertama yakni Pangeran
Samber nyawa seluas kurang lebih 19 hektar.
Pengaturan wakaf pada jaman kesultanan
terutama di Jawa (khususnya Jawa Tengah) pada saat itu telah diatur pada
Staatsblad No. 605, jo. Besluit Govermen General Van Ned Indie ddp. 12 Agustus
1896 No. 43, jo ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), menyatakan bahwa
masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah
bondo masjid (5% Moskeembtsvendem) sebagai food untuk membiayai pemeliharaan
dan perbaikan masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada dilingkungan
masjid-masjid tersebut. Hal tersebut menunjukkan pada jaman kesultanan telah ada peraturan harta wakaf sekalipun
dalam hal yang masih terbatas.
2.
Wakaf pada
zaman Kolonia
Pada zaman pemerintah kolonial telah
mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur
tentang persoalan wakaf, antara lain :
a.
Surat edaran Sekretaris Gubernur pertama tanggal 31
Januari 1905, No. 435, sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezicht
op den houw van Muhammedaansche bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada
para kepala wilayah di Jawa dan Madura kecuali wilayah-wilayah di daerah
Swapraja dimana sepanjang belum dilakukan supaya para Bupati membuat daftar
rumah-rumah ibadah Islam yang ada di Kabupaten masing-masing. Dalam daftar itu harus di catat asal-usul
tiap-tiap rumah ibadat, dipakai untuk salat jum’at atau tidak, ada pekarangan
atau tidak, ada wakaf atau tidak. Disamping itu setiap Bupati diwajibkan pula
untuk membuat daftar yang membuat keterangan tentang segala benda yang tidak bergerak yang oleh pemiliknya (orang
bumi putra) ditarik dari peredaran umum baik dengan nama wakaf atau nama lain.
b.
Peraturan ini ternyata menimbulkan reaksi dari pergerakan-pergerakan
dari umat Islam karena orang yang berwakaf dalam prakteknya harus minta ijin kepada Bupati, walaupun katanya hanya
bermaksud untuk mengawasi reaksi tersebut sebenarnya merupakan penentangan
terhadap campur tangan Pemerintah Kolonial terhadap urusan-urusan yang
berhubungan dengan agama Islam. Oleh karena itu Pemerintah Kolonial
mengeluarkan surat edaran lagi pada tahun 1931.
c.
Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931
No. 1361/A, sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang
Toizich Van de Regeering op Mohammedaan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en
wakaf.
d.
Meskipun sudah ada sedikit perubahan dalam surat edaran
yang kedua ini, namun masih tetap ada reaksi
dari pergerakan-pergerakan dari umat Islam, dengan alasan bahwa menurut Umat Islam perwakafan
adalah suatu tindakan hukum privat (materiil privaatrecht). Mereka beranggapan
bahwa perwakafan adalah pemisahan harta benda dari pemiliknya dan ditarik dari
peredaran, dan ini termasuk dalam hukum privat.
Oleh karena itu untuk sahnya tidak perlu izin dari pemerintah, bahkan
pemerintah tidak perlu campur tangan.[4]
Kemudian Pemerintah Kolonial Belanda
mengeluarkan surat edaran lagi, yakni Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember
1934 No. 3088/A sebagaimana Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van
de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf. Surat
edaaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang disebutkan dalam surat edaran
sebelumnya dimana Bupati boleh memimpin usaha untuk mencari penyelesaian
seandainya persengketaan dalam masyarakat dalam halpelaksanaan shalat jum’at,
asalkan pihak-pihak yang bersangkutan memintanya. Oleh karena itu Bupati haru
mengamankan keputusan itu, jika salah satu pihak tidak mematuhinya.
Ketiga surat edaran itu kemudian
disusul dengan surat edaran Sekretaris Gubernur tanggal 27 Mei 1935 No.1273/A,
sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No.13480 tentang Teozijh Vande
Regeering Muhammedaansche bedehuizen en Wakafs. Dalam surat edaran ini
diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan di samping itu dalam
surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukam
kepada Bupati dengan maksud supaya Bupati dapat mempertimbangkan atau meneliti
peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat
mendaftarkan wakaf itu di dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Peraturan-peraturan tersebut pada jaman
kemerdekaan masih tetap berlaku terus karena belum diadakan peraturan
perwakafan yang baru. Pemerintah Republik Indonesia juga tetap mengakui hukum
agama mengenai soal wakaf, namun campur tangan terhadap wakaf itu hanya
bersifat menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan
benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama
sekali tidak bermaksud mencampuri, menguasai atau menjadikan barang wakaf
menjadi tanah milik Negara. Dasar hukum, kompetensi dan tugas mengurus
soal-soal wakaf oleh Kementerian Agama adalah berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 33 tahun 1949 Jo. Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1980 serta bedasarkan Peraturan
Menteri Agama No. 9 dan No. 10 tahun 1952. Peraturan Menteri Agama No 9 dan No.
10 tahun 1952, menyatakan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan kantor-kantor
saluran vertikal di daerah-daerah KUA Pusat, KUA Kabupaten dan KUA Kecamatan
mempunyai salah satu kewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi
atau menyelenggarakan pemilihan wakaf.
Menurut peraturan tersebut perwakafan
tanah menjadi wewenang Menteri Agama yang dalam pelaksanaanya dilimpahkan kepada
kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten.
Sehubungan dengan adanya Surat
Keputusan Bersama antar Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria tertanggal 5
maret 1956 No. Pem.19/22/23/7.SK/62/Ka/59, maka pengesahan perwakafan tanah
milik yang semula menjadi wewenang Bupati
dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan selanjutnya diatur
dengan Surat Pusat Jawatan Agraria Kepala Pusat Jawatan Agraria tanggal 13
februari 1960 No. 2351/34/11.
Dari peraturan-peraturan yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, tampak adanya usaha-usaha untuk
menjaga dan melestarikan tanah wakaf yang ada di Indonesia, bahkan usaha
penertiban juga diperlihatkan oleh pemerintah RI. Disamping beberapa peraturan
yang telah dikemukakan, Departemen Agama pada tanggal 22 Desember 1953 juga
mengeluarkan petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Tugas bagian D (ibadah sosial)
jawatan urusan agama surat edaran jawatan urusan agama tanggal 8 Oktober 1956,
No. 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik kemasjitan.
Meskipun demikian peraturan-peraturan
yang ada tersebut kurang memadai. Oleh karena itu dalam rangka pembaharuan
Hukum Agraria di Negara Indonesia,
Persoalan tentang perwakafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-Undang
Pokok Agraria, yakni UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria Bab II, Bagian XI, pasal 49.
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam
yang berkembang di Indonnesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali
hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia,
kebutuhan tanah baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk
pembangunan-pembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan,
fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan
pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada
secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari
data-data tanah menunjukkan bahwa masih
ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak terutama di
daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orang-orang
yang menggarapnya.
Disamping hal di atas ada keluhan
masyarakat dan instansi yang mengelola tanah wakaf bahwa sebelum dikeluarkan
PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Milik, Pengurusan dan
pengelolaan tanah-tanah wakaf
kurang teratur dan kurang
terkendali, sehingga sering terjadi penyalahgunaan wakaf. Kondisi demikianlah
yang mendorong pemerintah untuk mengatasi masalah yang muncul dari praktek
perwakafan di Indonesia. Hal ini tergambar dari latar belakang dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.
Di Indonesia, campur tangan pemerintah
dalam hal perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat. dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah bab
Agama, dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Menurut Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat
(1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa “Negara Republik Indonesia” wajib
menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang
Nasrani, syariat Hindu bagi orang Bali
sekedar menjalankan syari’at (norma
hukum agama) itu memerlukan perantaraan
Kekuasaan Negara.
Kekuasaan Negara yang wajib menjalankan
syari’at masing-masing agama yang diatur dalam Negara Republik Indonesia ini
adalah kekuasaan Negara yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh syari’at yang berasal dari agama yang dianut
warga Negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.
Disamping itu pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas juga
menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Dilihat dari ayat (1) dan ayat (2) pasal 29 UUD 1945 terebut jelas bahwa wakaf
merupakan salah satu bentuk ibadat kepada Alloh yang termasuk ibadah alamiah
yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mal) yang dimiliki seseorang menurut
cara-cara yang ditentukan.
Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak
dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam
kehidupan masyarakat agar hak dan kewajiban serta kepentingan masyarakat itu
dapat berjalan dengan baik, sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengatur
masalah wakaf dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya
peraturan perundang-undangan itu ketertiban dalam praktek perwakafan ini dapat
terwujud hingga manfaatnyapun dapat dirasakan oleh masyarakat.
3.
Wakaf di zaman
Kemerdekaan
Pelaksanaan wakaf di indonesia,
mengadopsi sistem hukum dalam ajaran islam. Namun pada masa pelaksanaannya
kemudian wakaf seolah-olah merupakan kesepakatan ahli hukum dan budaya bahwa
perwakafan adalah masalah dalam hukum adat indonesia.
Dalam masa pra kemerdekaan lembaga
perwakafan sering dilakukan oleh masyarakat yang beragama islam, hal ini
merupakan konsekuensi logis dan banyak nya kerajaan-kerajaan islam di
indonesia, seperti kerajaan Demak, kerajaan pasai,dan lain-lain. Bahkan praktik
pelembagaan wakaf yang selama ini dilakukan berbagai negara telah di praktikan
di indonesia. Walaupun tidak persis sama dengan sistem sekarang atau dalam
ajaran islam. Akan tetapi esensi atau sepirit ajaran wakaf memiliki kemiripan,
bahkab pelembagaan wakaf tersebut basih berlangsung hingga saat ini.
Pada masa kemerdekaan, masalah wakaf
mulai mendapat perhatian lebih dari pemerintah nasional, antara lain melalui
departemen agama. Walaupun sebenarnya undang-undang perwakafan tanah lahir 15
tahun setelah indonesia merdeka, namun sebelum lahirnya undang-undang tentang
perwkafan tanah, pemerintah melalui departemen agama melahirkan beberapa
petunjuk tentang pelaksanaan wakaf, antara lain :
1.
Petunjuk tentang perwakafan tanah tanggal 22 Desember
1953
2.
Petunjuk tentang wakaf yang bukan kemasjidan, jawatan
urusan agama berdasarkan surat edaran tanggal 8 oktober 1956 No3D/1956
3.
Petunjuk tentang prosedur perwakafan tanah berdasarkan surat edaran jawatan urusan
agama No.5/1956.[5]
Dalam UUPA, masalah wakaf dapat kita
temui dalam pasal 5, pasal 14, pasal 49, yang memuat rumusan sebagai berikut :
1.
Pasal 5 mengatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan agama dan negara, segala sesuatu dengan mengindahklan unsur-unsur
yang berdasarkan pada hukum agama.
2.
Pasal 14 ayat 1 mengatakan bahwa pemerintah dalam rangka
sosialisme indonesia membuat suatu umum memngenai persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya untuk keperluan negara, untuk keperluan kepribadatan dan keperluan
maha ese,seterusnya.
3.
Pasal 49 mengatakan bahwa :
Hak milik tanah-tanah keagamaan dan sosial, diakui dan
dilindumgi badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup
untuk bangunan dan usahanya dan bidang keagamaan dan sosial.
Untuk keperluan keperibadatan dan keperluan suci lainnya
sebagai dimaksud pada pasal 14 dapat diberikan tanah yang menguasai langsung
oleh negara dengan hak pakai.
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
pemerintah.
C.
SYARAT DAN UNSUR WAKAF
Adapun syarat-syarat wakaf adalah sebagai berikut:
1.
Untuk selama-lamanya
Wakaf untuk selama-lamanya merupakan
syarat sahnya amalan wakaf, tidak sah bila dibatasi dengan waktu tertentu. Hal
ini disepakati oleh para ulama, kecuali madzhab Maliki. Hal ini berlaku pula
bagi wakaf ahli. Pada wakaf ahli jika pada suatu waktu orang yang ditetapkan
mengambil hasil atau manfaat harta wakaf telah tiada, maka harta wakaf itu
digunakan untuk kepentingan umum.
2.
Tidak boleh dicabut
Bila terjadi suatu wakaf dan wakaf itu
telah sah, maka pernyataan wakaf itu tidak boleh dicabut. Wakaf yang dinyatakan
dengan perantara wasiat, maka pelaksanaannya dilakukan setelah waqif meninggal
dunia dan wasiat wakaf itu tidak seorangpun yang boleh mencabutnya
3.
Pemilik wakaf tidak boleh dipindah tangankan
Dengan terjadinya wakaf, maka sejak itu
harta wakaf itu telah menjadi milik Allah SWT. pemilikan itu tidak boleh
dipindah tangankan kepada siapapun, baik orang, badan hukum atau negara. Negara
ikut mengawasi apakah harta wakaf dapat dimanfaatkan dengan baik atau tidak dan
negara juga berkewajiban melindungi harta wakaf itu.
4.
Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya
Tidak sah wakaf bila tujuannya tidak
sesuai apalagi bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bila waqiif telah
selesai mengucapkan ikrar wakafnya, maka pada saat itu wakaf telah terlaksana.
Agar adanya kepastian hukum adalah baik bila wakaf itu dilengkapi dengan
alat-alat bukti, seperti surat-surat dan sebagainya. Pada saat itu pula harta
yang diwakafkan itu telah diserahkan kepada pengelolanya (nazir), dan sejak itu
pula pemilik harta tidak berhak lagi atas harta yang telah diwakafkannya itu.
Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf sebagai tercantum
dalam KHI meliputi:
Badan-badan
hukum Indonesia dan orang-orang yang sehat akalnya serta oleh hukum tidak
terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat
mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam hal badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya
adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
Benda yang
diwakafkan merupakan benda yang sah milik pribadi atau badan hukum yang
bersangkutan dan bukan merupakan benda yang statusnya dalam sengketa, sitaan,
pembebanan, dan ikatan.
Ikrar wakaf diucapkan di hadapan nazhir yang kemudian
dituangkan dalam bentuk ikrar wakaf yang disaksikan minimal dua orang saksi.
Nazhir adalah
orang atau badan yang memegang amanat untuk memlihara dan mengurus harta wakaf
sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut dan selama ia mempunyai hak
melakukan tindakan hukum. Mengurus atau mengawasi harta wakaf pada dasarnya
menjadi hak wakif, atau boleh juga wakif menyerahkan pengawasan wakafnya kepada
orang lain, baik perseorangan maupun organisasi.
Nadzir berwenang melakukan segala tindakan
yang mendatangkan kebaikan bagi harta wakaf bersangkutan dengan memperhatikan
syarat – syarat yang mungkin telah ditentukan wakif. Tetapi nadzir tidak boleh
menggadaikan harta wakaf untuk tanggungan hutang harta wakaf atau tanggungan
hutang tujuan wakaf.
Nazhir
merupakan perorangan yang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
warga negara Indonesia;
b.
beragama Islam;
c.
dewasa;
d.
sehat jasmani dan rohani;
e.
tidak berada di bawah pengampuan;
f.
bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang
diwakafkan.
Jika berbentuk
badan hukum, maka nazhir harus memenuhi syarat berikut:
a.
Badan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.
Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat benda yang
diwakafkannya.[6]
Adapun hak dan
keajiban Nazhir adalah :
a)
Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya
yang meliputi:
1.
Mernyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar
Wakaf
2.
Pengelolaan dan Pemeliharaan harta wakaf serta
meningkatkan hasil wakaf
3.
Melaksanakan syarat dari waqif
4.
Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf yang
sesuai dengan tujuan atau ikrar wakaf
5.
Melunasi hutang wakaf , yang diambil dari pendapatan atau
hasil produksi harta wakaf.
6.
Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf yang
diurusnya dan penggunaan dari kasil wakaf itu.
7.
Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf dan
perubahan anggota nadzir, apabila ada salah seorang anggota nadzir:
a.
Meninggal dunia
b.
Mengundurkan diri
c.
Melakukan tindak pidana yang berhunbungan dengan
jabatannya sebagai nadzir
d.
Tidak memenuhi syarat lagi
e.
Tidak dapat lagi melakukan kewajiban
8.
Mengajukan permohonan kepada Kanwil Departemen Agama.
Kepala Bidang Urusan Agama islam melaui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama
apabila diperlukan perubahan penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi
dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan
oleh wakif atau oleh karena kepentingan umum.
b)
Menerima penghasilan dari hasil – hasil tanah wakaf yang
besarnya telah ditentukan oleh Kepala Kandepag. Kepala seksi urusan Agama Islam
dengan ketentuan tidak melebihi dari 10% dari hasil bersih tanah wakaf
c)
Nadzir dalam menunaikan tugasnya boleh menggunakan
fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag.
D.
TATA CARA
PERWAKAFAN DI INDONESIA
Amal wakaf
termasuk salah satu amal yang paling disukai umat muslim karena pahalanya yang
akan terus menerus diterima oleh si waqif walaupun ia telah meninggal dunia
nanti. Karena itu cukup beralasaan pendapat yang menyatakan bahwa amal wakaf
itu telah masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya agama Islam. Hal ini dapat
diketahui dari tanah- tanah tempat berdirinya mesjid- mesjid, langgar- langgar,
surau- surau dan tempat- tempat pengajian kaum muslimin sebagai peninggalan
kerajaan- kerajaan Islam zaman dahulu.
Secara yuridis
pelaksanaan wakaf di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1978, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 1977, Jo Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 6 Tahun1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978
tanggal 10 januari 1978.
Sebelum PP No.
28 Tahun 1977, pelaksanaan wakaf di Indonesia dilaksanakan berdasarkan kepada
surat Gouverment secretaris tanggal 31 Januari 1905 yang terkenal dengan nama
Bijblad No. 6196 yang kemudian disempurnakan dengan Bijblad No. 13480 tanggal
27 Mei 1935.
Dari kedua
Bijblad ini diketahui Bahwa Pemerintah Hindia Belanda ingin memenuhi sebagian
keinginan ummat Islam Indonesia yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf,
yaitu wakaf itu dilakukan dengan wakif yang sah, dengan jalaan berikrar
menyerahkan sebagian hartanya untuk kepentingan ibadat kepada Nazir yang telah
ditetapkan kemudian melaporkannya pada Bupati agar:
a.
Pelaksanaan wakaf atas tanah hak milik yang diperuntunkan
untuk kepentingan umum, harus didaftar pada Kantor Pajak Bumi, agar dapat
dibebaskan beban pajak bumi dari tanah itu.
b.
Tanah wakaf yang tidak digunakan lagi dapat diketahui
dengan pendaftaran dan jika tanah itu tidak dipergunakan lagi akan jatuh pada
negara.
c.
Dengan adanya laporan kepada bupati dapat dicegah hal-
hal yang bertentangan dengan maksud wakaf, disamping hal itu untuk mencegah
hal- hal yang bertentangan dengan kepentingan pemeritah.
Setelah
Indonesia merdeka, maka pemerintah mengeluarkan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No.8
Tahun1950. Peraturan- peraturan itu menetapkan kompetensi Departemen Agama
tentang pelaksanaan wakaf sekaligus memberikan wewenang untuk menyelidiki,
meneliti, menentukan, menerima pendaftaran serta mengawasi tanah- tanah yang
telah di wakafkan.
Kemudian
pemeritah menerbitkan PP No.28 1977 tanggal 20 Mei 1977 yang mengatur
perwakafan tanah milik dan juga merupakan penjabaran dan Undang- Undang Pokok
Agraria No 5 Tahun 1960 pasal 44 ayat (3) yang menyataan bahwa perwakafan tanah
milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah
Dalam Negeri ( PP No 6 Tahun 1977) menegaskan bahwa semua tanah yang diwakafkan
harus didaftarkan pada Sub Direktorat Agraria Kabupaten/kota Madya, sedang
untuk mencukupi keperluan bidang administratif, maka Menteri Agama mengeluarkan
peraturan No. 1 tahun 1978 tanggal 10 Januari 1978.
Adapun isi dari
PP No. 28 Tahun 1977 adalah sebagai berikut :
Pasal 9
(1) Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya
diharuskan datang dihadapan pejabat pembuatan akta ikrar wakaf untuk membuat
ikrar wakaf
(2) Pejabat pembuat akta ikrar seperti dimaksud
dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama
(3) Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh
Menteri Agama
(4) Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan
akta ikrar wakaf, dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi
(5) Dalam melaksanakan ikrar seperti yang
dimaksud ayat (1 ) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan
menyerahkan kepada pejabat tersebut dalam ayat (2) surat- surat berikut :
a. Sertifikat
milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya
b. Sura keterangan
dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang menerangkan
kebenaran kepemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu sengketa
c. Surat
keterangan pendaftaran tanah
d. Izin dari
Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
Dalam Kompilasi
Hukum Islam juga dijelaskan mengenai tata cara pelaksanaan harta wakaf dalam
pasal 223:
(1)
Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan
pejabat pembuat akta ikrar wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf
(2)
Isi dan bentuk dari ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama
(3)
Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf dianggap sah
jika dihadiri dan disaksikan sekurang- kurangnya oleh 2 orang saksi
(4)
Dalam pelaksanaan ikrar seperti dimaksudkan dalam pasal (1) pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat yang tersebut dalam pasal 215
ayat (6) surat- surat sebagai berikut ;
a. Tanda bukti
pemilikan harta benda
b. Jika benda yang
diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai dengan surat
keterangan dari kepala desa, yang diperkuat oleh camat setempat yang
menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud tersebut.
c. Surat atau
dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Adapun yang
dimaksud dengan pejabat pembuat akta ikrar wakaf seperti yang disebutkan diatas
adalah Kepala KUA kecamatan. Jika dalam suatu kecamatan tidak ada kantor KUA
nya maka kepala kanwil Kemenag menunjuk kepala KUA terdekat sebagai pejabat
pembuata akta ikrar dikecamatan tersebut. Hal ini ditentukan dalam pasal 5 ayat
(1) dan (3) Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. Sebelumnya, pasal 2 ayat
(1) dan (2) memberi petunjuk bahwa ikrar wakaf dilakuian secara tertulis, dalam
hal ini jika wakif tidak dapat menghadap pada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
( PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan
dari Kemenag yang mewilayahi tanah wakaf.
Wakaf dianggap
telah terlaksana dengan adanya lafaz atau sighat, walaupun tidak ditentukan
oleh hakim. Milik semula dari wakif telah hilang atau berpindah dengan
terjadinya lafaz, walaupun barang itu masih ada ditangan wakif. Dari keterangan
tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak
persyaratan menyangkut prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf.
Pendaftaran
tanah wakaf diatur oleh pasal 10 ayat (1) sampai dengan (5) PP No.28 Tahun
1978. Setelah selesai akta ikrar wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir diharuskan
mengajuan permohonan kepada Bupati/ Walikota madya kepala daerah cq. Kepala Sub
Direktorat Agraria setempat untuk mendaftarkan perwakafan tanah milik tersebut
menurut ketentuan PP No 10 Tahun 1961. Selanjutnya Kepala Sub Direktorat
Agraria mencatatnya pada buku tanah dan sertifikatnya. Setelah itu nadzir yang
bersangkutan wajib melaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
Dalam hal ini
pejabat tersebut seperti yang dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf a
Peraturan Menteri No. 1 tahun 1978 adalah kepala KUA setempat, sedangkan akta
ikrar wakaf sendiri dibuat rangkap masing- masing untuk :
a.
PPAIW
b.
Bupati/ Wali Kota madya kepala daerah dalam hal ini
kepala subdit Agraria setempat
c.
Pengadilan agama yang mewilayahinya.
Salinannya
dibuat rangkap empat untuk disampaikan kepada :
a.
Wakif
b.
Nadzir
c.
Kemenag kabupaten/ kota madya
d.
Kepala desa yang bersangkutan
Pada pasal 12
peraturan menteri dalam negeri No 6 Tahun 1977 tentang tata pendaftaran tanah mengenai
perwakafan tanah milik menyebutkan bahwa “ untuk keperluan pendaftaran dan
pencatatan perwakafan tanah, tidak dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya
pengukuran dan materai.
Dalam kaitannya
dengan tata cara atau prosedur pelaksanaan perwakafan di Indonesia sangat jelas
bahwasanya adanya kesinambungan antara hukum atau aturannya yang sudah ada di
dalam al qur’an yang menjelaskannya baik hukum wakaf ataupun tata cara di
dalamnya, di samping itu di jelaskan pula dalam hukum positif Indonesia, yang di
dalamnya dijadikan sebagai pedoman pokok pelaksanaan perwakafan di Indonesia
yang mengacu pada undang-undang Nomor 41 tahun 2004 yang menjelaskan ketentuan
pelaksanaan perwakafan di Indonesia.
Di Indonesia
hokum perwakafan di atur dalam undang-undan nomor 41 tahun 2004, serta jua
peraturan pemerintah nomo 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan perwakafan
tersebut, itu dapat di katakana bahwasannya indonesia memakai aturan yang di
berlakukan oleh Negara , lalu bagaimana dengan hokum atau dasar yang ada di dalam
al qur’an? Itu adalah sebagai landasan juga bagi umat islam kgususnya di Negara
Indonesa. Terkait tata cara lebih memakai pada Undang-undang nomor 41 tahun
2004 tentang wakaf dan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaannya di indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dan
demi menjawab permasalahan yang ada, maka dapat penulis simpulkan yaitu sebagai
berikut:
1. Wakaf adalah menahan tindakan hukum
orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tujuan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan unum dan kebajikan dalam rangka mendekatkan diri
pada Allah SWT, sedangkan materinya tetap utuh”. Harta yang sudah diwakafkan
tidak lagi menjadi milik Wakif dan akadnya bersifat mengikat.
2.
Di Indonesia, sejarah wakaf dimulai dari awal masuknya Islam
di Indonesia yakni dimulai pada zaman kesultanan, zaman kolonia dan zaman
kemerdekaan. Pada awalnya bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas
hanya dalam wakaf tanah, namun kini setelah dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tunai, masyarakat telah
mengenal bahwa wakaf tidak hanya tanah, tetapi wakaf dapat berbentu uang.Perlindungan
hukum bagi penumpang adalah suatu masalah yang besar dengan persaingan global
yang terus berkembang sehingga perlindungan hukum sangat dibutuhkan dalam
persaingan global. Pemerintah dalam rangka mewujudkan
perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa angkutan umum, khusunya terhadap
pengguna jasa (penumpang) pengangkutan darat online berbasis aplikasi dimana bentuk perlindungan
hukum berupa perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, dan perlindungan hukum melalui Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
3.
Di Indonesia hokum perwakafan di atur dalam undang-undan
nomor 41 tahun 2004, serta jua peraturan pemerintah nomo 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaan perwakafan tersebut, itu dapat di katakana bahwasannya indonesia
memakai aturan yang di berlakukan oleh Negara , lalu bagaimana dengan hokum
atau dasar yang ada di dalam al qur’an? Itu adalah sebagai landasan juga bagi
umat islam kgususnya di Negara Indonesa. Terkait tata cara lebih memakai pada
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturan pemerintah nomor
42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya di indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2005)
Ahmad Rofiq, Hukum
Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 481.
sjmuni Abdurrahman, Peraturan
Perundan-undangan Tentang Perwakafan Prosedur dan Prosesnya, (Naskah
Makalah Lokakarya Pemberdayaan Masjid Se Jawa Tengah di IAIN Walisongo
Semarang, 28 September 2000), h. 1-5.
M. Al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar al-Ihya
al-Kutub, tt), hlm. 319.
HM Munir SA, Wakaf
Tanah menurut Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 143.
Farid Wadjdy, Wakaf
dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta; Pustaka pelajar,2007 hal 44
Kompilasi Hukum Islam, KHI
[1] M. Al-Syarbini
al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar al-Ihya
al-Kutub, tt), hlm. 319.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar