Senin, 09 Januari 2017

HUKUM PERWAKAFAN DI INDONESIA

HUKUM PERWAKAFAN DI INDONESIA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas
Mata kuliah Hukum Perkawinan Indonesia





OLEH KELOMPOK 1:
Mohammad Sopian    1474201004
Rizke Diana                1474201094
Ayunda M.J.               1474201036
Chairunisa                   1474201086
Betap Rachman          1474201076
Yogi Febriyansah       1474201026


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
TANGERANG

2016











BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah SWT dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk menerapkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT, lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin) yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.
Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia. Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada Kompilasi Hukum Islam.
Di Indonesia wakaf dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk ke Indonesia yang juga menjadi salah satu penunjang pengembangan agama dan masyarakat Islam. Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf. Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Dalam makalah ini akan di bahas beberap hala mengenai wakaf, rukun dan syarat wakaf serta tata cara ikrar wakaf.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Apa yang dimaksud dengan wakaf?
2.      Bagaimana sejarah wakaf di indonesia?
3.      Syarat dan unsur wakaf?
4.      Bagaimana tata cara perwakafan di indonesia?

C.    Tujuan

 Makalah ini dibuat sebagai syarat tugas Hukum Telematika, sesuai permasalahan diatas adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari wakaf dan mengetahui bentuk bagaimana sejarah terjadinya wakaf di indonesia.
2.      Untuk mengetahui tata cara pewakafan dan syarat serta unsur wakaf












BAB II
PEMBAHASAN



A.    PENGERTIAN WAKAF

Secara etimologi, kata wakaf (وقف) berarti al-habs (menahan), radiah (tekembalikan), al-tahbis (tertahan) dan al-man’u (mencegah).[1]
Menurut istilah syara’, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Dalam hal tersebut, benda yang diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum).
Wakaf menurut jumhur ulama’ ialah suatu harta yang mungkin dimanfaatkan selagi barangnya utuh. Dengan putusnya hak penggunaan dari wakif, untuk kebajikan yang semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Harta wakaf atau hasilnya, dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan diwakafkannya harta itu, maka harta keluar dari pemilikan wakif, dan jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah SWT. Bagi wakif, terhalang untuk memanfaatkan dan wajib mendermakan hasilnya sesuai tujuan.
Dari ulama’ Hanafiyyah, Imam Sarkhosi mendefinisikan wakaf yang bersumber dari Abu Hanifah : Menahan harta dari jangkauan (kepemilikan) orang lain. Menurut Ulama Malikiyyah, Ibnu Arafah, bahwa wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan pemberinya meski hanya perkiraan. Sedangkan menurut Ulama Hanabilah, Ibnu qudamah mendefinisikan, bahwa wakaf adalah: menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.
Ulama Syafi’iyah menerangkan bahwa wakaf adalah penahanan dari bertasarruf dan mensedakahkan hasilnya serta berpindahnya pemilikan dari orang yang berwakaf kepada  orang  yang  menerima  wakaf  dan  tidak  boleh bertindak sekehendak hati mauquf alaih.
Rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana disebutkan dalam pasal 215 ayat (1) bahwa wakaf adalah, perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya, guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.[2]
 Dalam pengertian lain, sebagaimana disebutkan dalam UU RI No 41 tahun 2004 tentang wakaf, mendefinisikan wakaf sebagai berikut: “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk  dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[3]
Walau definisi wakaf berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi definisi tersebut nampaknya berpegang pada prinsip bahwa benda wakaf, pada hakikatnya adalah pengekalan dari manfaat benda wakaf itu. Namun demikian, dari beberapa definisi dan keterangan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa wakaf itu meliputi beberapa aspek sebagai berikut: Harta benda itu milik yang sempurna; Harta benda itu zatnya bersifat kekal dan tidak habis dalam sekali atau dua kali pakai; Harta benda tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya; Harta benda yang dilepaskan kepemilikannya tersebut, adalah milik Allah dalam arti tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan; dan Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dalil yang menjadi dasar disyariatkan ibadah wakaf bersumber dari pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan As-sunah. Dalam Al-Qur'an tidak secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf, bahkan tidak satu pun ayat Al-Qur'an yang menyinggung kata "waqf". Kendatipun demikian, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta benda, jadi ada beberapa ayat yang memerintahkan manusia berbuat baik untuk kebaikan  masyarakat, yang disandarkan sebagai landasan atau dasar wakaf, antara lain :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah: 267).

Ayat ini menjelaskan bahwa pilihlah yang baik-baik dari apa yang kamunafkahkan itu, walaupun tidak harus semuanya baik, tetapi jangan sampai kamu sengaja  memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya. Selanjutnya, ayat ini mengingatkan para pemberi nafkah agar menempatkan diri pada tempat orang yang menerimanya.
Allah memerintahkan pada manusia, agar memberi nafkah kepada yang butuh, bukan karena Allah tidak mampu  memberi secara langsung, tetapi perintah ini adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan si pemberi. Jadi, kata anfiquu mempunyai arti menafkahkan atau menyedekahkan (wakaf) yang baik-baik untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan guna dipergunakan untuk kepentingan umum.
Kemudian ayat yang lain yaitu:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92).
Penjelasan ayat ini ialah banyak orang yang menafkahkan apa yang ia cintai, tetapi beserta riya. Dan banyak orang yang jiwanya penuh dengan keinginan berbakti, tidak mempunyai harta untuk disedekahkan. Serta kita diperintahkan untuk menyembunyikan sedekah agar tidak menimbulkan riya dalam dada orang yang bersedekah.
Dalam ayat ini Allah menegaskan kepada kita bahwa tanda iman dan neracanya yang benar ialah mengeluarkan harta yang dicintai dijalan Allah SWT. dengan ikhlas serta niat yang baik. Tidak dapat seseorang menjadi mukmin yang sempurna kalau tidak mau menyedekahkan harta yang dicintai. Ayat di atas sering digunakan fuqaha’ untuk rujukan wakaf.
Adapun dasar dari Sunnah Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar bin Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar, kisah tersebut yaitu : “Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Umar telah menguasai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Nabi SAW. Guna meminta intruksi sehubungan dengan tanah tersebut”. Ia berkata: "Ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang aku tidak menyenanginya seperti padanya, apa yang engkau perintahkan kepada-ku dengannya?”  Beliau bersabda: " Jika kamu menginginkannya, tahanlah asalnya, dan shadaqahkan hasilnya”. Maka bershaqahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan. Ia menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir, budak-budak, pejuang  di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak berdosa orang yang mengelolanya, memakan dari hasil tanah tersebut dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa maksud memperkaya diri”.
Jelas, maksud dari shadaqah jariyah adalah wakaf.  Karena pahala wakaf akan terus menerus mengalir selama barang wakaf itu masih dimanfaatkan. Sebagaimana keutamaan shadaqah jariyah yang manfaat dan pengaruhnya langgeng setelah pemberi sedekah meninggal dunia.
Kisah dalam Hadits di atas adalah yang mendasari disyari’atkanya wakaf sebagai tindakan hukum, dengan mendermakan sebagian harta kekayaan untuk kepentingan umum, baik kepentingan  sosial maupun kepentingan keagamaan dengan maksud memperoleh pahala dari Allah SWT. Sedikit sekali memang, ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits, yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu, sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat Al-Qur’an dan Hadits yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf melalui  ijtihad  mereka. Sebab itu, sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam seperti, qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.
Oleh karena itu, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam masalah ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, dinamis dan futuristik (berorientasi pada masa depan). Dengan demikian, ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk dari bagian muammalah yang memiliki jangkauan yang lebih luas.

Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang Pelaksanaanya di Indonesia mengalami perkembangan. Dalam KHI wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Ada beberapa pengertian dasar lain yang berkaitan dengan wakaf, yaitu:
1.      Wakif, yaitu orang atau kelompok orang maupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
2.      Ikrar, adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
3.       Benda wakaf, yaitu segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
4.      Nazhir, yaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
5.      Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), yaitu petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dari wakif dan menyerahkannya kepada nazhir saat melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan. PPAIW diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.













B.     SEJARAH PERWAKAFAN DI INDONESIA

Wakaf di Indonesia sebagai lembaga Islam yang erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat Indonesia, telah dikenal sejak sebelum kemerdekaan yaitu sejak Islam masuk Indonesia. Adapun sejarah perkembangan perwakafan di Indonesia sebagai berikut :

1.      Wakaf di jaman Kesultanan
Banyak bukti-bukti ditemukan bahwa pada masa kesultanan telah dilakukan ibadah wakaf, hal ini dapat dilihat pada peninggalan sejarah, baik berupa tanah dan bangunan masjid, bangunan madrasah, komplek makam, tanah lahan baik basah maupun kering yang ditemukan hampir di seluruh Indonesia terutama  yang di zaman dulu Kesultanan / Susuhan atau pernah diperintah oleh Bupati yang beragama Islam. Bukti itu antara lain tanah-tanah yang diantaranya berdiri masjid seperti:
1.      Masjid Al Falah di Jambi berasal dari tanah Sultan Thah Saifudin;
2.      Masjid Kauman di Cirebon wakaf dari Sunan Gunung Jati;
3.      Masjid di Demak wakaf dari Raden Patah;
4.      Masjid Menara si Kudus wakaf dari Sunan Muria;
5.      Masjid Jamik Pangkalan wakaf dari Sultan Abdul Qodirun;
6.      Masjid Agung Semarang wakaf dari Pangeran Pandanaran;
7.      Masjid Ampel di Surabaya wakaf dari R. Rochmat Sunan Ampel;
8.      Masjid Agung Kauman di Yogya wakaf dari Sultan Agung;
9.      Masjid Agung Kauman di Solo wakaf dari Susuhunan  Paku Buwono X.
10.  Untuk Masjid Agung Banten dan madrasah-madrasahnya mendapat tanah wakaf dari Maulana Hasanudin, Maulana Yusuf, Maulana Pangeran Mas dan Hartawan Muslim yang luasnya ratusan hektar;
11.  Masjid Agung Demak dan pesantrennya dibiayai dari hasil tanah wakaf   sawah seluas kurang lebih 350 hektar wakaf dari Raden Patah;
12.  Masjid Agung Semarang dibiayai dengan tanah wakaf Bupati Semarang pertama yakni Pangeran Samber nyawa seluas kurang lebih 19 hektar.

Pengaturan wakaf pada jaman kesultanan terutama di Jawa (khususnya Jawa Tengah) pada saat itu telah diatur pada Staatsblad No. 605, jo. Besluit Govermen General Van Ned Indie ddp. 12 Agustus 1896 No. 43, jo ddo. 6 November 1912. No. 22 (Bijblad 7760), menyatakan bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal, Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% Moskeembtsvendem) sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada dilingkungan masjid-masjid tersebut. Hal tersebut menunjukkan pada jaman kesultanan  telah ada peraturan harta wakaf sekalipun dalam hal yang masih terbatas.

2.      Wakaf pada zaman Kolonia
Pada zaman pemerintah kolonial telah mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur  tentang persoalan wakaf, antara lain :
a.         Surat edaran Sekretaris Gubernur pertama tanggal 31 Januari  1905,   No. 435, sebagaimana termuat di  dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezicht op den houw van Muhammedaansche bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah di Jawa dan Madura kecuali wilayah-wilayah di daerah Swapraja dimana sepanjang belum dilakukan supaya para Bupati membuat daftar rumah-rumah ibadah Islam yang ada di Kabupaten masing-masing.  Dalam daftar itu harus di catat asal-usul tiap-tiap rumah ibadat, dipakai untuk salat jum’at atau tidak, ada pekarangan atau tidak, ada wakaf atau tidak. Disamping itu setiap Bupati diwajibkan pula untuk membuat daftar yang membuat keterangan tentang segala benda yang  tidak bergerak yang oleh pemiliknya (orang bumi putra) ditarik dari peredaran umum baik dengan nama wakaf atau nama lain.
b.         Peraturan ini ternyata menimbulkan reaksi dari pergerakan-pergerakan dari umat Islam karena orang yang berwakaf dalam prakteknya harus minta  ijin kepada Bupati, walaupun katanya hanya bermaksud untuk mengawasi reaksi tersebut sebenarnya merupakan penentangan terhadap campur tangan Pemerintah Kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam. Oleh karena itu Pemerintah Kolonial mengeluarkan  surat  edaran lagi pada tahun 1931.
c.         Surat Edaran Sekretaris Gubernemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A, sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1931 No. 12573, tentang Toizich Van de Regeering op Mohammedaan schebedehuizen, Vrijdagdienstten en wakaf.
d.        Meskipun sudah ada sedikit perubahan dalam surat edaran yang kedua ini, namun masih tetap ada reaksi  dari pergerakan-pergerakan dari umat Islam, dengan  alasan bahwa menurut Umat Islam perwakafan adalah suatu tindakan hukum privat (materiil privaatrecht). Mereka beranggapan bahwa perwakafan adalah pemisahan harta benda dari pemiliknya dan ditarik dari peredaran, dan ini termasuk dalam hukum privat.  Oleh karena itu untuk sahnya tidak perlu izin dari pemerintah, bahkan pemerintah tidak perlu campur tangan.[4]

Kemudian Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan surat edaran lagi, yakni Edaran Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 No. 3088/A sebagaimana Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdogdiesten en wakaf. Surat edaaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang disebutkan dalam surat edaran sebelumnya dimana Bupati boleh memimpin usaha untuk mencari penyelesaian seandainya persengketaan dalam masyarakat dalam halpelaksanaan shalat jum’at, asalkan pihak-pihak yang bersangkutan memintanya. Oleh karena itu Bupati haru mengamankan keputusan itu, jika salah satu pihak tidak mematuhinya.
Ketiga surat edaran itu kemudian disusul dengan surat edaran Sekretaris Gubernur tanggal 27 Mei 1935 No.1273/A, sebagaimana yang termuat dalam Bijblad 1935 No.13480 tentang Teozijh Vande Regeering Muhammedaansche bedehuizen en Wakafs. Dalam surat edaran ini diberikan beberapa penegasan tentang prosedur perwakafan di samping itu dalam surat edaran ini juga disebutkan bahwa setiap perwakafan harus diberitahukam kepada Bupati dengan maksud supaya Bupati dapat mempertimbangkan atau meneliti peraturan umum atau peraturan tempat yang dilanggar agar Bupati dapat mendaftarkan wakaf itu di dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Peraturan-peraturan tersebut pada jaman kemerdekaan masih tetap berlaku terus karena belum diadakan peraturan perwakafan yang baru. Pemerintah Republik Indonesia juga tetap mengakui hukum agama mengenai soal wakaf, namun campur tangan terhadap wakaf itu hanya bersifat menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak bermaksud mencampuri, menguasai atau menjadikan barang wakaf menjadi tanah milik Negara. Dasar hukum, kompetensi dan tugas mengurus soal-soal wakaf oleh Kementerian Agama adalah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1949 Jo. Peraturan Pemerintah No. 8   tahun 1980 serta bedasarkan Peraturan Menteri Agama No. 9 dan No. 10 tahun 1952. Peraturan Menteri Agama No 9 dan No. 10 tahun 1952, menyatakan bahwa Jawatan Urusan Agama dengan kantor-kantor saluran vertikal di daerah-daerah KUA Pusat, KUA Kabupaten dan KUA Kecamatan mempunyai salah satu kewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi atau menyelenggarakan pemilihan wakaf.
Menurut peraturan tersebut perwakafan tanah menjadi wewenang Menteri Agama yang dalam pelaksanaanya dilimpahkan kepada kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten.
Sehubungan dengan adanya Surat Keputusan Bersama antar Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria tertanggal 5 maret 1956 No. Pem.19/22/23/7.SK/62/Ka/59, maka pengesahan perwakafan tanah milik yang semula menjadi wewenang Bupati  dialihkan kepada Kepala Pengawas Agraria. Pelaksanaan selanjutnya diatur dengan Surat Pusat Jawatan Agraria Kepala Pusat Jawatan Agraria tanggal 13 februari 1960 No. 2351/34/11.
Dari peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, tampak adanya usaha-usaha untuk menjaga dan melestarikan tanah wakaf yang ada di Indonesia, bahkan usaha penertiban juga diperlihatkan oleh pemerintah RI. Disamping beberapa peraturan yang telah dikemukakan, Departemen Agama pada tanggal 22 Desember 1953 juga mengeluarkan petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Tugas bagian D (ibadah sosial) jawatan urusan agama surat edaran jawatan urusan agama tanggal 8 Oktober 1956, No. 3/D/1956 tentang wakaf yang bukan milik kemasjitan.
Meskipun demikian peraturan-peraturan yang ada tersebut kurang memadai. Oleh karena itu dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Negara  Indonesia, Persoalan tentang perwakafan tanah diberi perhatian khusus  sebagaimana terlihat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yakni UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Bab II,   Bagian XI, pasal 49.
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang berkembang di Indonnesia yang pada umumnya berupa tanah milik, erat sekali hubungannya dengan pembangunan. Semakin meningkatnya pembangunan di Indonesia, kebutuhan tanah baik untuk memenuhi kebutuhan perumahan perorangan maupun untuk pembangunan-pembangunan prasarana umum seperti jalan, pasar, sekolahan, fasilitas olah raga, dan industri meningkat pula. Kondisi yang demikian menyebabkan pemerintah mulai memikirkan usaha-usaha untuk memanfaatkan tanah yang ada secara efisien dan mencegah adanya pemborosan dalam memanfaatkan tanah. Dari data-data   tanah menunjukkan bahwa masih ada daerah terdapat peta-peta dengan gambaran tanah rusak terutama di daerah-daerah yang penduduknya padat dan status tanahnya bukan tanah-tanah orang-orang yang menggarapnya.
Disamping hal di atas ada keluhan masyarakat dan instansi yang mengelola tanah wakaf bahwa sebelum dikeluarkan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Milik, Pengurusan dan pengelolaan tanah-tanah wakaf  kurang  teratur dan kurang terkendali, sehingga sering terjadi penyalahgunaan wakaf. Kondisi demikianlah yang mendorong pemerintah untuk mengatasi masalah yang muncul dari praktek perwakafan di Indonesia. Hal ini tergambar dari latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.
Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat. dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1)  di bawah bab Agama, dinyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa “Negara Republik Indonesia” wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, syariat Hindu   bagi orang Bali sekedar menjalankan syari’at  (norma hukum agama) itu memerlukan perantaraan  Kekuasaan Negara.
Kekuasaan Negara yang wajib menjalankan syari’at masing-masing agama yang diatur dalam Negara Republik Indonesia ini adalah kekuasaan Negara yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh syari’at yang berasal dari agama yang dianut warga Negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya. Disamping itu pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dilihat dari ayat (1) dan ayat (2) pasal 29 UUD 1945 terebut jelas bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk ibadat kepada Alloh yang termasuk ibadah alamiah yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mal) yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.
Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat agar hak dan kewajiban serta kepentingan masyarakat itu dapat berjalan dengan baik, sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengatur masalah wakaf dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan itu ketertiban dalam praktek perwakafan ini dapat terwujud hingga manfaatnyapun dapat dirasakan oleh masyarakat.

3.      Wakaf di zaman Kemerdekaan
Pelaksanaan wakaf di indonesia, mengadopsi sistem hukum dalam ajaran islam. Namun pada masa pelaksanaannya kemudian wakaf seolah-olah merupakan kesepakatan ahli hukum dan budaya bahwa perwakafan adalah masalah dalam hukum adat indonesia.
Dalam masa pra kemerdekaan lembaga perwakafan sering dilakukan oleh masyarakat yang beragama islam, hal ini merupakan konsekuensi logis dan banyak nya kerajaan-kerajaan islam di indonesia, seperti kerajaan Demak, kerajaan pasai,dan lain-lain. Bahkan praktik pelembagaan wakaf yang selama ini dilakukan berbagai negara telah di praktikan di indonesia. Walaupun tidak persis sama dengan sistem sekarang atau dalam ajaran islam. Akan tetapi esensi atau sepirit ajaran wakaf memiliki kemiripan, bahkab pelembagaan wakaf tersebut basih berlangsung hingga saat ini.
Pada masa kemerdekaan, masalah wakaf mulai mendapat perhatian lebih dari pemerintah nasional, antara lain melalui departemen agama. Walaupun sebenarnya undang-undang perwakafan tanah lahir 15 tahun setelah indonesia merdeka, namun sebelum lahirnya undang-undang tentang perwkafan tanah, pemerintah melalui departemen agama melahirkan beberapa petunjuk tentang pelaksanaan wakaf, antara lain :
1.      Petunjuk tentang perwakafan tanah tanggal 22 Desember 1953
2.      Petunjuk tentang wakaf yang bukan kemasjidan, jawatan urusan agama berdasarkan surat edaran tanggal 8 oktober 1956 No3D/1956
3.      Petunjuk tentang prosedur perwakafan  tanah berdasarkan surat edaran jawatan urusan agama No.5/1956.[5]

Dalam UUPA, masalah wakaf dapat kita temui dalam pasal 5, pasal 14, pasal 49, yang memuat rumusan sebagai berikut :
1.      Pasal 5 mengatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. Sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan agama dan negara, segala sesuatu dengan mengindahklan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama.
2.      Pasal 14 ayat 1 mengatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme indonesia membuat suatu umum memngenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk keperluan negara, untuk keperluan kepribadatan dan keperluan maha ese,seterusnya.
3.      Pasal 49 mengatakan bahwa :
Hak milik tanah-tanah keagamaan dan sosial, diakui dan dilindumgi badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dan bidang keagamaan dan sosial.
Untuk keperluan keperibadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud pada pasal 14 dapat diberikan tanah yang menguasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.










C.    SYARAT  DAN UNSUR WAKAF

Adapun syarat-syarat wakaf adalah sebagai berikut:
1.      Untuk selama-lamanya
Wakaf untuk selama-lamanya merupakan syarat sahnya amalan wakaf, tidak sah bila dibatasi dengan waktu tertentu. Hal ini disepakati oleh para ulama, kecuali madzhab Maliki. Hal ini berlaku pula bagi wakaf ahli. Pada wakaf ahli jika pada suatu waktu orang yang ditetapkan mengambil hasil atau manfaat harta wakaf telah tiada, maka harta wakaf itu digunakan untuk kepentingan umum.
2.      Tidak boleh dicabut
Bila terjadi suatu wakaf dan wakaf itu telah sah, maka pernyataan wakaf itu tidak boleh dicabut. Wakaf yang dinyatakan dengan perantara wasiat, maka pelaksanaannya dilakukan setelah waqif meninggal dunia dan wasiat wakaf itu tidak seorangpun yang boleh mencabutnya
3.      Pemilik wakaf tidak boleh dipindah tangankan
Dengan terjadinya wakaf, maka sejak itu harta wakaf itu telah menjadi milik Allah SWT. pemilikan itu tidak boleh dipindah tangankan kepada siapapun, baik orang, badan hukum atau negara. Negara ikut mengawasi apakah harta wakaf dapat dimanfaatkan dengan baik atau tidak dan negara juga berkewajiban melindungi harta wakaf itu.
4.      Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya
Tidak sah wakaf bila tujuannya tidak sesuai apalagi bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bila waqiif telah selesai mengucapkan ikrar wakafnya, maka pada saat itu wakaf telah terlaksana. Agar adanya kepastian hukum adalah baik bila wakaf itu dilengkapi dengan alat-alat bukti, seperti surat-surat dan sebagainya. Pada saat itu pula harta yang diwakafkan itu telah diserahkan kepada pengelolanya (nazir), dan sejak itu pula pemilik harta tidak berhak lagi atas harta yang telah diwakafkannya itu.

Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf sebagai tercantum dalam KHI meliputi:
Badan-badan hukum Indonesia dan orang-orang yang sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
Benda yang diwakafkan merupakan benda yang sah milik pribadi atau badan hukum yang bersangkutan dan bukan merupakan benda yang statusnya dalam sengketa, sitaan, pembebanan, dan ikatan.
Ikrar wakaf diucapkan di hadapan nazhir yang kemudian dituangkan dalam bentuk ikrar wakaf yang disaksikan minimal dua orang saksi.

Nazhir adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memlihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut dan selama ia mempunyai hak melakukan tindakan hukum. Mengurus atau mengawasi harta wakaf pada dasarnya menjadi hak wakif, atau boleh juga wakif menyerahkan pengawasan wakafnya kepada orang lain, baik perseorangan maupun organisasi.
  Nadzir berwenang melakukan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi harta wakaf bersangkutan dengan memperhatikan syarat – syarat yang mungkin telah ditentukan wakif. Tetapi nadzir tidak boleh menggadaikan harta wakaf untuk tanggungan hutang harta wakaf atau tanggungan hutang tujuan wakaf.
Nazhir merupakan perorangan yang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       warga negara Indonesia;
b.      beragama Islam;
c.       dewasa;
d.      sehat jasmani dan rohani;
e.       tidak berada di bawah pengampuan;
f.       bertempat tinggal di kecamatan tempat benda yang diwakafkan.

Jika berbentuk badan hukum, maka nazhir harus memenuhi syarat berikut:
a.          Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.      Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat benda yang diwakafkannya.[6]

Adapun hak dan keajiban Nazhir adalah :
a)      Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya yang meliputi:
1.      Mernyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf 
2.      Pengelolaan dan Pemeliharaan harta wakaf serta meningkatkan hasil wakaf
3.      Melaksanakan syarat dari waqif
4.      Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf yang sesuai dengan tujuan atau ikrar wakaf
5.      Melunasi hutang wakaf , yang diambil dari pendapatan atau hasil produksi harta wakaf.
6.      Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf yang diurusnya dan penggunaan dari kasil wakaf itu.
7.      Membuat laporan hasil pencatatan keadaan tanah wakaf dan perubahan anggota nadzir, apabila ada salah seorang anggota nadzir:
a.       Meninggal dunia
b.      Mengundurkan diri
c.       Melakukan tindak pidana yang berhunbungan dengan jabatannya sebagai nadzir
d.      Tidak memenuhi syarat lagi
e.       Tidak dapat lagi melakukan kewajiban
8.      Mengajukan permohonan kepada Kanwil Departemen Agama. Kepala Bidang Urusan Agama islam melaui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama apabila diperlukan perubahan penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan  oleh wakif atau oleh karena kepentingan umum.
b)      Menerima penghasilan dari hasil – hasil tanah wakaf yang besarnya telah ditentukan oleh Kepala Kandepag. Kepala seksi urusan Agama Islam dengan ketentuan tidak melebihi dari 10% dari hasil bersih tanah wakaf
c)      Nadzir dalam menunaikan tugasnya boleh menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag.




D.    TATA CARA PERWAKAFAN DI INDONESIA

Amal wakaf termasuk salah satu amal yang paling disukai umat muslim karena pahalanya yang akan terus menerus diterima oleh si waqif walaupun ia telah meninggal dunia nanti. Karena itu cukup beralasaan pendapat yang menyatakan bahwa amal wakaf itu telah masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari tanah- tanah tempat berdirinya mesjid- mesjid, langgar- langgar, surau- surau dan tempat- tempat pengajian kaum muslimin sebagai peninggalan kerajaan- kerajaan Islam zaman dahulu.
Secara yuridis pelaksanaan wakaf di Indonesia dilaksanakan pada tahun 1978, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 1977, Jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tanggal 10 januari 1978.
Sebelum PP No. 28 Tahun 1977, pelaksanaan wakaf di Indonesia dilaksanakan berdasarkan kepada surat Gouverment secretaris tanggal 31 Januari 1905 yang terkenal dengan nama Bijblad No. 6196 yang kemudian disempurnakan dengan Bijblad No. 13480 tanggal 27 Mei 1935.
Dari kedua Bijblad ini diketahui Bahwa Pemerintah Hindia Belanda ingin memenuhi sebagian keinginan ummat Islam Indonesia yang berhubungan dengan pelaksanaan wakaf, yaitu wakaf itu dilakukan dengan wakif yang sah, dengan jalaan berikrar menyerahkan sebagian hartanya untuk kepentingan ibadat kepada Nazir yang telah ditetapkan kemudian melaporkannya pada Bupati agar:
a.       Pelaksanaan wakaf atas tanah hak milik yang diperuntunkan untuk kepentingan umum, harus didaftar pada Kantor Pajak Bumi, agar dapat dibebaskan beban pajak bumi dari tanah itu.
b.      Tanah wakaf yang tidak digunakan lagi dapat diketahui dengan pendaftaran dan jika tanah itu tidak dipergunakan lagi akan jatuh pada negara.
c.       Dengan adanya laporan kepada bupati dapat dicegah hal- hal yang bertentangan dengan maksud wakaf, disamping hal itu untuk mencegah hal- hal yang bertentangan dengan kepentingan pemeritah.
Setelah Indonesia merdeka, maka pemerintah mengeluarkan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No.8 Tahun1950. Peraturan- peraturan itu menetapkan kompetensi Departemen Agama tentang pelaksanaan wakaf sekaligus memberikan wewenang untuk menyelidiki, meneliti, menentukan, menerima pendaftaran serta mengawasi tanah- tanah yang telah di wakafkan.
Kemudian pemeritah menerbitkan PP No.28 1977 tanggal 20 Mei 1977 yang mengatur perwakafan tanah milik dan juga merupakan penjabaran dan Undang- Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 pasal 44 ayat (3) yang menyataan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Dalam Negeri ( PP No 6 Tahun 1977) menegaskan bahwa semua tanah yang diwakafkan harus didaftarkan pada Sub Direktorat Agraria Kabupaten/kota Madya, sedang untuk mencukupi keperluan bidang administratif, maka Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 1 tahun 1978 tanggal 10 Januari 1978.

Adapun isi dari PP No. 28 Tahun 1977 adalah sebagai berikut :
Pasal 9
(1)   Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan pejabat pembuatan akta ikrar wakaf untuk membuat ikrar wakaf
(2)   Pejabat pembuat akta ikrar seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama
(3)   Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama
(4)   Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf, dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang- kurangnya 2 (dua) orang saksi
(5)   Dalam melaksanakan ikrar seperti yang dimaksud ayat (1 ) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada pejabat tersebut dalam ayat (2) surat- surat berikut :
a.       Sertifikat milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya
b.      Sura keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran kepemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu sengketa
c.       Surat keterangan pendaftaran tanah
d.      Izin dari Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai tata cara pelaksanaan harta wakaf dalam pasal 223:
(1)   Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf
(2)   Isi dan bentuk dari ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama
(3)   Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan sekurang- kurangnya oleh 2 orang saksi
(4)   Dalam pelaksanaan ikrar seperti dimaksudkan dalam pasal (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada pejabat yang tersebut dalam pasal 215 ayat (6) surat- surat sebagai berikut ;
a.       Tanda bukti pemilikan harta benda
b.      Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai dengan surat keterangan dari kepala desa, yang diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud tersebut.
c.       Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.

Adapun yang dimaksud dengan pejabat pembuat akta ikrar wakaf seperti yang disebutkan diatas adalah Kepala KUA kecamatan. Jika dalam suatu kecamatan tidak ada kantor KUA nya maka kepala kanwil Kemenag menunjuk kepala KUA terdekat sebagai pejabat pembuata akta ikrar dikecamatan tersebut. Hal ini ditentukan dalam pasal 5 ayat (1) dan (3) Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978. Sebelumnya, pasal 2 ayat (1) dan (2) memberi petunjuk bahwa ikrar wakaf dilakuian secara tertulis, dalam hal ini jika wakif tidak dapat menghadap pada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf ( PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kemenag yang mewilayahi tanah wakaf.
Wakaf dianggap telah terlaksana dengan adanya lafaz atau sighat, walaupun tidak ditentukan oleh hakim. Milik semula dari wakif telah hilang atau berpindah dengan terjadinya lafaz, walaupun barang itu masih ada ditangan wakif. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak persyaratan menyangkut prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf.
Pendaftaran tanah wakaf diatur oleh pasal 10 ayat (1) sampai dengan (5) PP No.28 Tahun 1978. Setelah selesai akta ikrar wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir diharuskan mengajuan permohonan kepada Bupati/ Walikota madya kepala daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftarkan perwakafan tanah milik tersebut menurut ketentuan PP No 10 Tahun 1961. Selanjutnya Kepala Sub Direktorat Agraria mencatatnya pada buku tanah dan sertifikatnya. Setelah itu nadzir yang bersangkutan wajib melaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
Dalam hal ini pejabat tersebut seperti yang dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri No. 1 tahun 1978 adalah kepala KUA setempat, sedangkan akta ikrar wakaf sendiri dibuat rangkap masing- masing untuk :
a.       PPAIW
b.      Bupati/ Wali Kota madya kepala daerah dalam hal ini kepala subdit Agraria setempat
c.       Pengadilan agama yang mewilayahinya.

Salinannya dibuat rangkap empat untuk disampaikan kepada :
a.       Wakif
b.      Nadzir
c.       Kemenag kabupaten/ kota madya
d.      Kepala desa yang bersangkutan
Pada pasal 12 peraturan menteri dalam negeri No 6 Tahun 1977 tentang tata pendaftaran tanah mengenai perwakafan tanah milik menyebutkan bahwa “ untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan perwakafan tanah, tidak dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya pengukuran dan materai.
Dalam kaitannya dengan tata cara atau prosedur pelaksanaan perwakafan di Indonesia sangat jelas bahwasanya adanya kesinambungan antara hukum atau aturannya yang sudah ada di dalam al qur’an yang menjelaskannya baik hukum wakaf ataupun tata cara di dalamnya, di samping itu di jelaskan pula dalam hukum positif Indonesia, yang di dalamnya dijadikan sebagai pedoman pokok pelaksanaan perwakafan di Indonesia yang mengacu pada undang-undang Nomor 41 tahun 2004 yang menjelaskan ketentuan pelaksanaan perwakafan di Indonesia.
Di Indonesia hokum perwakafan di atur dalam undang-undan nomor 41 tahun 2004, serta jua peraturan pemerintah nomo 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan perwakafan tersebut, itu dapat di katakana bahwasannya indonesia memakai aturan yang di berlakukan oleh Negara , lalu bagaimana dengan hokum atau dasar yang ada di dalam al qur’an? Itu adalah sebagai landasan juga bagi umat islam kgususnya di Negara Indonesa. Terkait tata cara lebih memakai pada Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya di indonesia.


















BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dan demi menjawab permasalahan yang ada, maka dapat penulis simpulkan yaitu sebagai berikut:

1.      Wakaf adalah menahan tindakan hukum orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan unum dan kebajikan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah SWT, sedangkan materinya tetap utuh”. Harta yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi milik Wakif dan akadnya bersifat mengikat.
2.      Di Indonesia, sejarah wakaf dimulai dari awal masuknya Islam di Indonesia yakni dimulai pada zaman kesultanan, zaman kolonia dan zaman kemerdekaan. Pada awalnya bentuk wakaf yang dikenal masyarakat secara luas hanya dalam wakaf tanah, namun kini setelah dikeluarkannya peraturan perundang-undangan Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf tunai, masyarakat telah mengenal bahwa wakaf tidak hanya tanah, tetapi wakaf dapat berbentu uang.Perlindungan hukum bagi penumpang adalah suatu masalah yang besar dengan persaingan global yang terus berkembang sehingga perlindungan hukum sangat dibutuhkan dalam persaingan global. Pemerintah dalam rangka mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa angkutan umum, khusunya terhadap pengguna jasa (penumpang) pengangkutan darat online  berbasis aplikasi dimana bentuk perlindungan hukum berupa perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
3.      Di Indonesia hokum perwakafan di atur dalam undang-undan nomor 41 tahun 2004, serta jua peraturan pemerintah nomo 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan perwakafan tersebut, itu dapat di katakana bahwasannya indonesia memakai aturan yang di berlakukan oleh Negara , lalu bagaimana dengan hokum atau dasar yang ada di dalam al qur’an? Itu adalah sebagai landasan juga bagi umat islam kgususnya di Negara Indonesa. Terkait tata cara lebih memakai pada Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya di indonesia.























DAFTAR PUSTAKA


Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2005)

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 481.

sjmuni Abdurrahman, Peraturan Perundan-undangan Tentang Perwakafan Prosedur dan Prosesnya, (Naskah Makalah Lokakarya Pemberdayaan Masjid Se Jawa Tengah di IAIN Walisongo Semarang, 28 September 2000), h. 1-5.

M. Al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, tt), hlm. 319.

HM Munir SA, Wakaf Tanah menurut Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 143.

Farid Wadjdy, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta; Pustaka pelajar,2007 hal 44

Kompilasi Hukum Islam, KHI





[1] M. Al-Syarbini al-Khatib, al-Iqna fi al-Hall al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub, tt), hlm. 319.
[2] KHI pasal 215 ayat (1)
[3] UU RI No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
[4]  HM Munir SA, Wakaf Tanah menurut Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 143.
[5] Farid Wadjdy, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta; Pustaka pelajar,2007 hal 44
[6] http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2014/01/makalah-perwakafan-di-indonesia-menurut.html